Children of Heaven, Sebuah Kisah Perjuangan

Tulisan ini membahas tentang review film Children of Heaven, namun terfokus pada pemikiran gue tentang film ini yang memiliki tafsir lain, terutama terkait dengan kondisi sosial-politik Iran yang terjadi di tahun ’70-an.

Halo sobat Jedai (jembatan keledai)! Kenalin gue David, salah satu masyarakat Sejarah Universitas Padjadjaran yang suka merhatiin hal-hal tentang Timur Tengah dan tanah India. Kali ini gue mau membahas tentang film Children of Heaven, film dari “negeri para mullah” yang ditayangin di ruang sekre HIMSE tanggal 26 September kemarin.

Kenapa gue memilih film ini? Waktu itu otak sedang dalam keadaan mandeg, dan gue ditugaskan untuk mencari film yang akan ditonton di minggu depan dengan syarat: (1) Menarik, (2) Cerita mudah dipahami, dan (3) Durasi gak lebih dari dua jam. Tadinya gue mau menayangkan film India, tapi tau sendiri kan film mereka biasanya diatas dua setengah jam.

Ketika sedang ingin menghibur diri, gue mendapatkan ilham dari Hamdi el Fakharany, semacam Fahri Hamzah-nya Mesir:

Yap! Sepatu! Saat itu juga gue langsung teringat film yang waktu kecil ditonton bareng nyokap di kanal RCTI, Children of Heaven. Sebuah film yang mengisahkan dua orang kakak-beradik dengan satu sepatu lusuh yang dipakai bergantian.


Children of Heaven

Judul Film : Children of Heaven [Anak-anak Surga]
بچه‌های آسمان‎ Bacce-ha-ye- aseman [Anak-anak Langit]
Sutradara : Majid Majidi
Produksi : Miramax
Pemain : Mohammad Amir Naji
Amir Farrokh Hashemian
Bahare Seddiqi
Bahasa : Persia (Iran)

Gak lama setelah mendapatkan ilham, gue langsung berusaha untuk mendapatkan film ini. Bagi gue dan mungkin kalian yang lagi demen-demennya nonton film India, ini tergolong pendek, 89 menit. Ditambah lagi alur ceritanya yang sederhana tapi dalem maknanya. Jadi sebenarnya bukan sebuah hal yang sulit untuk menikmati film ini, gak kayak film Inception.

Itulah anggapan gue ketika proses download film ini sedang berlangsung. Beberapa saat kemudian, sekitar lima belas menit setelah menekan tombol play, ada hal yang membuat gue mengulangi pemutaran film ini, yaitu teringat kembali film A Separation yang diputar di kelas TPB ketika gue jadi maba.

Dibalik filmnya yang mengisahkan tentang permasalahan klasik dalam keluarga, A Separation sebenarnya memiliki tafsir lain. Yakni tentang representasi situasi politik pemerintahan Republik Islam Iran kontemporer: pertentangan antara kaum nasionalis, reformis, dan Islam konservatif di negeri tersebut.

Ada perbedaan ketika gue menonton film ini saat masih SD dengan sekarang. Gue menemukan hal lain yang lebih besar dari kisah keluarga miskin yang anak-anaknya hanya memiliki satu sepatu. Dan juga, ada alasan yang gue temukan tentang perasaan teramat sedih Ali yang mendapatkan juara satu dalam perlombaan lari

Selamat datang di Revolusi Iran…..

Loh kok kebebasanku hilang?

Film diawali dengan seorang tukang sol yang memperbaiki sepatu milik Zahra. Sepatu itu dititipkan oleh sang kakak, Ali, sambil membeli kebutuhan makan untuk keluarga. Setelah membeli makanan, Ali sadar bahwa sepatu milik Zahra telah hilang dari tempat ia menaruhnya. Digambarkan, sepatunya terbawa oleh pengepul barang bekas.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Pak Majid pengen menggambarkan peristiwa di Iran yang terjadi pada 1953, ketika Perdana Menteri Iran Mohammad Mosaddegh yang dipilih secara demokratis oleh rakyat Iran, dikudeta sama Amerika Serikat dan Inggris dengan tujuan untuk memperkuat posisi pemerintahan Shahanshah (raja diraja/kaisar) Mohammad Reza Pahlavi.

Hilangnya sepatu milik Zahra merepresentasikan tentang kebebasan berdemokrasi bangsa Iran yang hilang, dan dimulainya era Pahlavi yang otoriter, korup, kejam, dan diktator. Tapi di sana, pemimpinnya gak suka tersenyum, beda sama yang di Indonesia, hehehe….

Di sini gue mengambil kesimpulan kalau Ali menggambarkan masyarakat yang menginginkan kebebasan, sedangkan Zahra berperan sebagai masyarakat biasa yang gak begitu melek politik. Sepatu yang digunakan sebagai alat berjalan, merepresentasikan kebebasan. Gak ada sepatu, loe gak bisa bebas berjalan, kan?

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Mari berlari meraih mimpi, menggapai langit yang tinggi

Jadi begini keadaan keluarga Ali:
Bokapnya seorang pekerja serabutan yang gak jelas dapat penghasilan darimana, nyokapnya sakit-sakitan di rumah, Ali sendiri merupakan siswa cerdas di sekolahnya, Zahra itu seorang siswi dan menggantikan beberapa tugas ibunya yang lagi sakit.
Walaupun begitu, baik Ali maupun Zahra adalah anak yang berbakti kepada orang tuanya. Mereka gak pernah nuntut macem-macem, karena paham kondisi keluarganya. Pengen punya sepatu baru, keinget utang di warung. Pengen makan enak, keinget tunggakan kontrakan. Begitulah…..
Ali gak pengen orang tuanya tau hilangnya sepatu ini, bakalan marah ortunya, tapi Ali berjanji kalau suatu saat dia bakalan ngasih sepatu ke adiknya, Zahra, dengan berbagai cara. Nah, untuk menyiasatinya, saat hari sekolah, sepatu Ali bakal dipakai bergantian sama Zahra, sampai adiknya punya sepatu. Karena jadwal sekolah keduanya yang mepet banget, maka lari sekencang-kencangnya adalah solusi.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Mending gue kenalin dulu deh….

44cf6a02-6f0d-4e7c-84fb-7ca31bd0a5e3

Ayatollah Khomeini, pemimpin spiritual masyarakat Syi’ah Iran

Dibalik usaha modernisasi (westernisasi, tentunya) yang dilakukan sama Shah Pahlavi, sebenarnya masyarakat Iran pada saat itu adalah tipe yang religius. Sebagian besar masyarakat lebih milih ngikutin suara ulama daripada pemerintah.

Sikap otoriter-nya Shah Pahlavi tentunya bikin masyarakat Iran kesel. Masyarakat Iran yang udah punya budaya yang agung sepanjang ribuan tahun (fyi, Persia yang dimaksud sama Herodotus di bukunya The Persian War masih sama dengan Persia yang sekarang), kini dipaksa untuk menjadi Barat, termasuk berusaha untuk mengurangi religiusitas masyarakat Iran.

Ada beberapa cara untuk mendapatkan kebebasan. Sayangnya, kebebasan milik Zahra udah hilang. Maka Ali harus membagi kebebasannya dengan Zahra, yang sebenarnya tipe kebebasan Ali gak cocok dengan Zahra. Orang tua mereka gak perlu tahu masalah sepatu ini, karena kalaupun mereka tahu, gak ada yang bisa dilakukan sama orangtua. .

Walaupun bokapnya Ali memang berusaha untuk mencari nafkah buat keluarga, sampai ke Teheran nyari peruntungan sebagai tukang kebun keliling, membeli sepatu untuk Zahra bukan prioritas utama. Sampai saat itu (bahkan sampai akhir film), bokapnya Ali gak ngeh kalau Ali dan adiknya membutuhkan sepatu baru.

Kesempatan Besar

vlcsnap-2019-10-03-16h08m55s597

Kesempatan besar akhirnya datang. Sekolahnya Ali ikut dalam perlombvaan lari. Di lomba tersebut, akan didapatkan tiga pemenang dengan hadiah seperti berikut (yang ngerti bahasa Persia koreksi yak kalo gue salah):

Juara pertama : Liburan dua minggu di kamp dan satu set pakaian olahraga
Juara kedua : Liburan dua minggu di kamp dan perlengkapan sekolah
Juara ketiga : Liburan seminggu di kamp dan sepasang sepatu olahraga

“Wah, kesempatan gue nih. Sepatu olahraga baru dan mulus bakalan gue dapatkan. Tugas gue adalah berusaha untuk mendapatkan juara 3, harus kudu wajib juara 3.”, pikir Ali.

Sayangnya, saat pengumuman hadiah itu ditempel di mading, pendaftaran perlombaan lari udah ditutup (yang mana menurut gue ini aneh sih, hadiahnya dikasih tahu ketika pendaftarannya ditutup). Maka Ali harus berusaha merengek-rengek untuk dapat ikut ke dalam perlombaan tersebut, dengan janji bahwa ia akan memenangkannya.

Kebetulan, seperti yang udah dikisahkan dalam film, kebiasaan Ali saat berangkat sekolah adalah berlari dengan terburu-buru mengejar jam masuk sekolah. Kebiasaan tersebut akhirnya membuat guru olahraga yang ,menyeleksi anak-anak yang mau ikut lomba lari, takjub melihat potensi Ali dalam berlari. Ali akhirnya ikut serta dalam perlombaan lari ini.

Begitu pula ketika Iran di tahun 70-an. Masyarakat Iran yang saat itu miskin dihadapkan pada kelakuan Shahanshah yang ultranasionalis, ingin menjadikan peradaban Iran sebagai yang terhebat, namun gak diimbangi dengan pemerintahan yang sehat dan pengelolaan yang cerdas. Bahkan, Shahanshah menghabiskan milyaran dollar hanya untuk merayakan ulang tahun ke 2.500 tahun dinasti Persia, ketika banyak masyarakat Iran yang masih buta huruf.

Ketika situasi pemerintahan sudah keterlaluan seperti itu, maka gelombang protes muncul di beberapa titik di Iran.

Dalam aksi protes tersebut, akan ditemukan masyarakat dengan ideologi yang berbeda-beda. Namun secara garis besar, perjuangan terbagi atas kaum konservatif-agamis, sosial-komunisme, dan liberal-demokrasi, yang masing-masing digambarkan dengan hadiah dari perlombaan lari yang diikuti Ali.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Ya ya kita ‘kan terus berlari, ya!!

Perlombaan pun dimulai dengan tanda tembak. Sekitar ratusan anak seumuran Ali mengikuti lomba lari. Mereka semua memiliki tujuan yang sama, yaitu memperebutkan posisi juara dan membanggakan nama sekolah.

Perlombaan yang dialami Ali berlangsung lumayan sengit. Akibat kebiasaan Ali yang berlari ke sekolah, ia dapat menyalip peserta lain dengan cepat hingga akhirnya mencapai posisi sepuluh besar.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Namun sayangnya, usaha yang dilakukan Ali terlalu besar hingga tanpa sadar ia akhirnya mendapatkan juara 1, sesuatu yang tidak diharapkan oleh Ali. Walaupun ia mendapat sesuatu yang lebih besar dan terhormat dibandingkan juara 3, namun ia tidak menginginkannya. Makanya ketika gurunya Ali bersorak gembira atas kemenangannya, Ali bersedih. Untuk perjuangannya yang terakhir (dalam film), Ali kembali gagal mendapatkan sepatu yang ia dan Zahra inginkan. Ali justru memenangkan seperangkat baju olahraga serta berlibur di kamp selama dua minggu.

Masyarakat seperti Ali yang mendambakan kebebasan seperti pada masa Mohammad Mosaddegh, kini mendapatkan kesempatan untuk melakukan revolusi. Dengan berbagai cara, masyarakat Iran berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Revolusi sedang berlangsung, mirip seperti Revolusi Bolshevik di Rusia tahun 1920-an.

Revolusi akhirnya dimenangkan oleh kubu konservatif-islamis, dengan Ayatollah Khomeini sebagai pemimpin kubu tersebut. Selain itu, kaum sosialis yang diwakilkan oleh Partai Tudeh (yang sebenarnya udah di banned sama Shahanshah juga ikut berjuang meraih mimpi mereka

Akhirnya kita sampai di akhir film. Ali datang ke rumahnya dan ia disambut oleh Zahra yang sedang menunggu kabar baik dari Ali. Sayangnya, ia tidak membawa sepatu baru, yang sebelumnya telah dijanjikan oleh Ali. Ia masih mengenakan sepatu lusuh yang digunakan bergantian dengan adiknya. Namun, kali ini ia berhak mendapatkan pakaian olahraga baru. Walau begitu, bokapnya Ali membawa dua sepatu saat mengayuh sepedanya.

Selesai, film diakhiri dengan kredit berbahasa Persia.

vlcsnap-2019-10-28-17h08m02s492

Maksud

Jadi, maksud dari hadiah dari masing-masing juara adalah kayak begini:

Juara 3, sepasang sepatu

Seperti yang berkali-kali gue jelaskan di atas, sepatu melambangkan kebebasan. Suatu hal yang hilang pasca dikudetanya Mohammad Mosaddegh dari tahtanya sebagai perdana menteri Iran. Kebebasan sangat didambakan masyarakat Iran saat itu, ditengah rezim otoriter Shah Pahlavi. Situasinya mirip (bahkan menurut gue persis) dengan masa Orde Baru, tapi otoriternya Shah Pahlavi lebih keras dibandingkan Soeharto.
Ali gagal mendapatkan sepatu dalam lomba.

Juara 2, alat tulis

Alat tulis menggambarkan kaum sosialis. Karena film ini menceritakan kisah seorang bocah (yekali dapet hadiah peralatan berkebun), makanya pak Majid menggambarkannya dalam alat tulis.

Partai Tudeh yang berhaluan sosialis, yang terinspirasi dari Uni Soviet, eksistensinya dilarang sama pemerintahan Shah Pahlevi. Selain karena cita-cita kaum sosialis adalah memberangus kelas sosial (yang tentunya mengancam pemerintahan kekaisaran Iran), juga karena Iran saat itu sangat dekat dengan blok Barat. Saking dekatnya, keterlibatan blok Barat atas kudeta Mosaddegh direstui sama pemerintahan Shah. Padahal, niat menasionalisasikan perusahaan minyak (yang merupakan idenya Mosaddegh) adalah hal yang sangat mulia dan akan membawa masyarakat Iran lebih sejahtera.

Ali gak menginginkan ini. Karena Ali dan Zahra masih punya alat tulis, bahkan Ali dapat hadiah pulpen dari pak guru karena ia berprestasi di kelas.

nah ini……

Juara 1, seragam sekolah

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Foto-foto dan video di atas adalah situasi masyarakat Iran sebelum Revolusi Islam Iran 1979 terjadi. Bisa kalian liat salah sekian dari hasil Westernisasi yang dilakukan oleh Shahanshah

Sedangkan foto-foto dibawah adalah situasi pasca-Revolusi Islam Iran dibawah komando Ayatollah Khomeini.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Ali meraih juara 1 dalam perlombaan lari. Tentu banyak yang bangga dengan pencapaian Ali tersebut, termasuk guru yang mengajar dan mendampingi Ali dalam perlombaan. Ali adalah pahlawan!
Namun, ia tidak menginginkannya.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.


Begitulah yang bisa gue sampaikan dalam artikel ini. Semoga bermanfaat dan dapat mencerdaskan pembaca sekalian.
Dan jika kalian punya pertanyaan, silakan tulis di kolom komentar.

Sampai ketemu lagi di kesempatan berikutnya, Adieu!

Referensi:
Nasir Tamara: Revolusi Iran
allthatsinteresting.com/shah-of-iran-before-1979
en.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Mosaddegh
en.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Reza_Pahlavi
Marjane Satrapi: Persepolis
en.wikipedia.org/wiki/Tudeh_Party_of_Iran
en.wikipedia.org/wiki/Ruhollah_Khomeini

Tinggalkan komentar